*✨CATATAN KECIL PUNCAK PERINGATAN SATU ABAD NU*
Oleh: Zahro Wardi.
(Nahdliyin, Peserta Muktamar Fiqh Peradaban Internasional Ke-1).
Bila kita menyaksikan prosesi acara di panggung dan di dalam stadion Delta Sidoarjo, acara utama semua tampak luar biasa, mulai dari:
◼️MC yang memakai 3 bahasa.
◼️Kreasi 12 ribu Banser yang memukau.
◼️Orkestra Addie MS dengan lagu-lagu khas NU yang begitu indah.
◼️Sambutan Rais 'Aam PBNU yang penuh makna.
◼️Pembacaan Rekomendasi Muktamar Fiqh Peradaban Internasional oleh Gus Mus dan Mbak Yeni yang begitu berbobot untuk dunia.
◼️Sambutan Presiden RI yang menaruh harapan besar terhadap kiprah NU.
◼️Sambutan Gus Yahya Ketum PBNU yang menggelegar membakar semangat.
◼️Sampai doa khusyuk yang dikumandangkan Wapres, KH Makruf Amin.
Semua sangat lancar dan membanggakan.
Hanya terjadi gangguan-gangguan kecil yang tidak berarti, misal sound system yang ngadat saat pembacaan ayat suci Al-Qur'an, yang justru jadi momentum menggemanya sholawat Asghil yang terbukti "Ampuh", sebab sesaat kemudian Sound System itu normal kembali. Dan sedikit "keselio lidah" Pak Erik Thohir saat menutup kata sambutan.
Berbeda dengan di dalam yang kelihatan luar biasa, keadaan di luar bila diurai ternyata banyak masalah-masalah dengan situasi dan kondisi masing-masing Nahdliyin. Yang semuanya bermuara pada tidak bisa dilaksanakannya rencana-rencana awal pengaturan Nahdliyin yang hadir.
Sebab dari asumsi 2 juta Nahdliyin, ternyata antusiasme Nahdliyin yang hadir melonjak 3 atau 4 kali lipatnya.
"Sungguh luar biasa!"
Dari sinilah akhirnya banyak Kyai-Kyai yang memegang surat undangan resmi tidak bisa masuk, sebab tertahan di radius 2 sampai 5 KM dari tempat acara.
Sedikit sekali dari Beliau-beliau yang nekat menerobos, baik jalan kaki maupun dibonceng sepeda untuk mencoba sampai stadion, sebab kepadatan memang tidak terbayangkan.
Kalaupun sudah sampai di depan stadion, belum tentu bisa masuk, apalagi setelah Presiden dan Wapres sudah ada di dalam.
Situasi seperti ini aturannya bukan lagi seberapa penting dan standar kehadiran penyambutan kerawuhan seorang Kyai yang wajib dihormati, dita'dhimi dan permohonan maaf atas situasi yang tidak terkendali. Semua sudah tidak ada lagi.
Sekalipun ketokohan Kyai itu sudah sangat masyhur, bahkan sekalipun sudah tahu bahwa Kyai itu ber-khidmah di NU dengan makam yang tinggi. Karena pintu masuk di bawah tanggungjawab Paspampres, yang ada adalah Para Abdi negara itu sangat tegas dalam menjalankan Protap dan SOP standar acara Kenegaraan.
Banser yang "keroyo-royo" menghantarkan naik sepeda sampai pintu masuk atau memberanikan diri mempersilahkan masuk Sang Kyai, ia harus mengalah agar tidak terjadi keributan. Tidak ada pengecualian. Titik.
Hal ini sangat berbeda dengan kehadiran Pejabat Negara. Tidak perlu pangkat terlalu tinggi, mulai start perjalanan sampai tempat acara ada pengawalan dan tidak mungkin ditolak masuk.
Luar biasa lagi bukan...?
Sesungguhnya kejadian serupa juga terjadi satu hari sebelumnya, yakni Muktamar Fiqh Peradaban Internasional yang merupakan acara puncak Halaqoh Fiqh Peradaban di ratusan tempat sebelumnya di seluruh Indonesia.
Karena Wapres sudah di dalam, banyak Kyai-Kyai yang secara faktual Beliaulah sesungguhnya yang punya hajat, tapi justru dilarang masuk karena aturan-aturan kenegaraan yang tentu di luar kebiasaan Pondok Pesantren dan kultur NU.
Bahkan acara-acara besar NU dan Ulama' yang lain, bila melibatkan pejabat tinggi negara juga sering terjadi kejadian serupa.
*HARAPAN KEDEPAN:*
Untuk acara yang melibatkan Ulama' dan Umara', apalagi Shohibul Hajahnya adalah Ulama dan Santri, panitia dari kedua belah pihak di lapangan harus bisa:
◼️Mengomunikasikan dengan matang.
◼️Menyatukan Persepsi.
◼️Menyatukan Protap dan SOP masing-masing yang mesti berbeda. Sehingga ada titik temu dan kesepakatan.
Kalau Pemerintah dan Negara punya aturan, mulai dari siapa saja dalam pembukaan sambutan yang disebutkan dan mana yang didahulukan penyebutannya, maka dalam aturan etika Pesantren dan Kyai pun hal-hal semacam itu jauh lebih diperhatikan.
Bila dalam aturan protokol kenegaraan, pengaturan tempat duduk itu ada, (maka) dalam Dunia Santri, Kyai dan Pesantren, etika-etika semacam itu juga ada dan tabu untuk dilanggar.
Sekalipun dari dulu sampai sekarang tidak ada satupun Kyai yang protes:
Ketika dalam satu sambutan secara etika seharusnya Beliau disebut namun tidak disebut atau yang seharusnya dipersilahkan masuk tapi dilarang masuk, yang seharusnya dikasih tempat duduk namun tidak dikasih, yang seharusnya di depan namun ditaruh di belakang dan seterusnya, sama sekali tidak ada Protes dan Mengeluh.
Para Kyai selalu berpegang Ajaran Tashawuf, berhias tawadlu dan menempa kepribadian ikhlas yang menyatu dalam jiwanya.
Namun, santri-santri yang berkewajiban ta'dhim, khidmah dan "Ngeladeni" sangat miris melihat itu semua.
Sungguh Santri tidak rela dan tidak tega menyaksikan itu semua. Sebab bagi santri:
◼️Sosok Kyai adalah ID CARD itu sendiri.
◼️Sosok Kyai adalah Tiket masuk itu sendiri.
◼️Sosok Kyai adalah surat undangan itu sendiri.
◼️Dan sosok Kyai adalah Barcode itu sendiri. Tidak butuh yang lain.
Justru Beliau-beliau membawakan ID CARD untuk keselamatan kita, surat undangan untuk keberkahan kita, tiket masuk menuju kebahagiaan kita, dan Barcode untuk kesejukan rohani kita.
Sehingga Beliau yang hadir dan tentu mendapat undangan, mustahil tidak dimuliakan dan dipersilahkan.
Kelalaian Beliau untuk membawa undangan dan keterlambatan Beliau hadir sama sekali tidak mengurangi keistimewaan beliau di mata santri.
Sekali lagi, ke depan di acara serupa harus ada rembukan dan pemahaman bersama panitia di lapangan, agar kedua SOP dan protap itu bisa disingkronkan.
Biar aturan negara dan Etika "Unggah-Ungguh Pesantren" bisa diterapkan dan berjalan bersama.
Selamat Datang Abad Ke-2 NU. Kami semua siap berkhidmah untuk dan kepadamu.
*والله الموفق إلى أقوم الطريق*